Pertanyaan ini sering saya jumpai, waktu kecil belum aqiqah, kalau mau berkurban bagaimana, apakah aqiqah dulu baru kurban, atau langung kurban dulu tidak apa-apa, mencoba cari tahu jawabannya melalui browsing, ternyata dari beberapa artikel yang saya baca, berkurban diperbolehkan meski belum aqiqah, jadi inti jawabanya, tidak menjadi syariat silakan berkurban.
Berikut ini saya kutip beberapa artikel yang menjelaskan tentang Belum Aqiqah Bolehkah Berkurban
Artikel pertama
berjudul Berkurban Atau Aqiqah? Mana Yang Didahulukan?
oleh: Muhammad Muafa di publikasikan oleh blog abuhauramuafa
Assalamu’alaikum.
Ustadz jika kita belum pernah di aqiqohkan orang tua pada saat bayi namun pada saat ini sbg anaknya telah punya kemampuan ,petanyaan saya mana yang harus didahulukan qurban dulu atau Aqiqah dan apakah pelaksanaan Aqiqah msh tetap d tuntut kewajibannya sampai seumur hidup jika belum d aqiaohkan orang tua.tks.
Wass.ww.
Hp 08569227xxxx
Jawaban
Wa’alaikumussalam warahmatullah.
Hukum menyelenggarakan Aqiqah adalah Sunnah, bukan wajib. Dalil yang menunjukkan adalah hadis yang diriwayatkan Ahmad dari ‘Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda;
مَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Barangsiapa diantara kalian ada yang suka berkurban (mengaqiqahi) untuk anaknya, maka silakan melakukan. Untuk satu putra dua kambing dan satu putri satu kambing” (H.R.Ahmad)
Seandainya menyelenggarakan Aqiqah wajib, maka Rasulullah SAW tidak akan mengaitkannya dengan “mahabbah” (kesukaan). Lafadz ” Barangsiapa diantara kalian ada yang suka “ menunjukkan bahwa seorang mukallaf bisa melakukannya atau tidak. Karena itu, lafadz ini menjadi qorinah (indikasi) bahwa penyelenggaraan Aqiqah hukumnya Sunnah, bukan Wajib.
Adapun Hadis yang menyatakan bahwa anak digadaikan dengan Aqiqahnya, misalnya hadis berikut;
سنن أبى داود (8/ 17)
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
“Dari Samurah bin Jundub bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Setiap anak digadaikan dengan Aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur dan diberi nama (H.R.Abu Dawud)
Maka, hadis ini tidak menunjukkan kewajiban Aqiqah tapi hanya menunjukkan Ta’kidul Istihbab (penekanan anjuran) saja.
Waktu penyelenggaraan Aqiqah adalah hari ke-7 dari kelahiran bayi berdasarkan hadis Samurah di atas. Jika belum memungkinkan maka bisa mengambil hari ke-14 atau ke-21 berdasarkan fatwa Aisyah berikut;
مسند إسحاق بن راهويه (3/ 692)
أخبرنا يعلى بن عبيد نا عبد الملك عن عطاء عن أبي كرز عن أم كرز قالت قالت امرأة من أهل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن غلاما نحرنا عنه جزورا فقالت عائشة : لا بل السنة عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة يطبخ جدولا ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق يفعل ذلك في اليوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين
“Dari Ummu Karz beliau berkata; Seorang wanita dari keluarga Abdurrahman bin Abubakar berkata;Jika istri Abdurrahman melahirkan seorang putra maka kita akan menyembelihkan untuknya seekor unta. Maka Aisyah berkata; tidak, tetapi sunnahnya adalah; untuk putra dua kambing yang setara dan untuk putri satu kambing. Dimasak dalam keadaan sudah dipotong-potong dan tidak dipatahkan tulangnya. Lalu dimakan, dibuat menjamu, dan dishodaqohkan. Hal itu dilakukan pada hari ke-7, jika tidak maka hari ke-14 jika tidak maka hari ke 21” (Musnad Ishaq bin Rahawaih)
Fatwa Shahabat meskipun bukan dalil, tetapi dalam kondisi tidak ditemukan dalil maka fatwa Shahabat adalah jenis ijtihad yang paling tinggi karena mereka adalah orang yang paling dekat dengan Nabi dan mengerti hadis-hadis beliau. Jadi, fatwa Aisyah ini bisa dijadikan sebagai dasar karena mustahil beliau berfatwa tanpa dasar Nash yang beliau ketahui.
Jika sudah lewat hari ke-21i, maka penyelenggaraan Aqiqah tidak disyariatkan karena tidak ada dalil yang menunjukkannya. Tidak bisa diqiyaskan, misalnya menyelenggarakan Aqiqah setiap kelipatan hari ke-7 setelah hari ke-21 (hari ke-28, jk tidak bisa hari ke- 35 dst) karena penyelenggaraan Aqiqah termasuk ibadah dan syariat ibadah harus ditetapkan berdasarkan nash, bukan Qiyas.
Jika menyelenggarakan Aqiqah di antara hari ke-7, 14, dan 21 (misalnya hari ke -3 atau ke-9, atau ke 19) maka Aqiqahnya sah, karena penyebutan hari ke-7 pada hadis Samurah adalah pemilihan waktu yang paling afdhol, bukan pengikat keabsahan Aqiqah. Yang semisal dengan ini adalah persoalan pemberian nama. Berdasarkan hadis Samurah, pemberian nama bayi afdholnya hari ke-7, tapi Nabi sendiri memberi nama putranya yaitu Ibrahim pada hari pertama. Karena itu, penetapan hari ke-7 bukan menjadi syarat sah namun sekedar pemilihan waktu yang paling afdhol.
Jadi, tidak ada syariat Aqiqah setelah hari ke-21, apalagi jika sudah baligh. Adapun riwayat bahwa Nabi mengaqiqahi dirinya sendiri setelah masa kenabian, yaitu;
مسند البزار (2/ 345)
حَدَّثنا سهيل بن إبراهيم الجارودي أبو الخطاب ، حَدَّثنا عوف بن مُحَمد المراري ، حَدَّثنا عَبد الله بن المحرر ، عَن قَتادة ، عَن أَنَس ؛ أَن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما بعث نبيا.
وحديثا عَبد الله بن محرر لا نعلم رواهما أحد ، عَن قَتادة ، عَن أَنَس غيره وهو ضعيف الحديث جِدًّا ، وَإنَّما يكتب من حديثه ما ليس عند غيره.
Dari Anas; Bahwasanya Nabi saw mengaqiqahi dirinya sendiri sesudah diutus menjadi Nabi (H.R.Al-Bazzar)
Maka ini adalah riwayat yang lemah karena ada perawi yang bernama Abdullah bin Al-Muharror. Al-Bazzar mengatakan; dia Dhaif Jiddan (sangat lemah). An-Nawawi mengatakan; hadis ini bathil,sementara Al-Baihaqy menilainya Munkar.
Jadi, tidak ada syariat Aqiqah setelah baligh sebagaimana tidak ada syariat mengaqiqahi diri sendiri.
Adapun berkurban, maka hukumnya Sunnah Mu-akkad (sunnah yang dikuatkan) berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Allah berfirman;
{فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ} [الكوثر: 2]
Shalatlah untuk Rabbmu dan berkurbanlah (Al-Kautsar;2)
Rasulullah saw bersabda;
سنن ابن ماجه (9/ 276)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda; Barangsiapa memiliki keluasan (kekayaan) dan tidak berkurban maka jangan mendekati tempat shalat kami” (H.R.Ibnu Majah)
Berdasarkan paparan di atas, yaitu hukum sunnahnya menyelenggarakan Aqiqah (bukan wajib),tidak disyariatkannya Aqiqah setelah baligh, tidak disyariatkannya mengaqiqahi diri sendiri, dan Sunnah Mu-akkadnya berkurban maka lebih tepat jika memilih melakukan kurban tanpa perlu berfikir menyelenggarakan Aqiqah. Wallahu’alam.
Artikel Kedua,
berjudul Sudah Dewasa Belum Diaqiqah, Lebih Utama Qurban atau Aqiqah yang Tertunda ? yang dipublikasikan oleh blog
eramuslim.com
Assalamu’alaikum wr wb..
Ustad, saya berumur 22 th, saya belum di aqiqah kan oleh orang tua saya. Mana yang lebih utama untuk saya, aqiqah atau qurban? cttn dg biaya sendiri. saya belum berqurban.
Wassalamu’alaikum wr wb..
nilmi
Waalaikumussalam Wr Wb
Hukum Aqiqah
Aqiqah adalah sembelihan hewan kurban untuk anak yang baru lahir dan dilakukan pada hari ketujuh kelahirannya. Hukum pelaksanaan aqiqah ini adalah sunnah muakkadah, sebagaimana diriwayatkan dari Samurah bahwa Nabi saw bersabda,”Setiap anak yang dilahirkan itu terpelihara dengan aqiqahnya dan disembelihkan hewan untuknya pada hari ketujuh, dicukur dan diberikan nama untuknya.” (HR. Imam yang lima, Ahmad dan Ashabush Sunan dan dishohihkan oleh Tirmidzi)
Waktu pelaksanaan aqiqah ini adalah pada hari ketujuh dari hari kelahirannya namun jika ia tidak memiliki kesanggupan untuk menagqiqahkannya pada hari itu maka ia diperbolehkan mengaqiqahkannya pada hari keempat belas, dua puluh satu atau pada saat kapan pun ia memiliki kelapangan rezeki untuk itu, sebagaimana makna dari pendapat para ulama madzhab Syafi’i dan Hambali bahwa sembelihan untuk aqiqah bisa dilakukan sebelum atau setelah hari ketujuh.
Adapun yang bertanggung jawab melakukan aqiqah ini adalah ayah dari bayi yang terlahir namun para ulama berbeda pendapat apabila yang melakukannya adalah selain ayahnya :
1. Para ulama Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa sunnah ini dibebankan kepada orang yang menanggung nafkahnya.
2. Para ulama Madzhab Hambali dan Maliki berpendapat bahwa tidak diperkenankan seseorang mengaqiqahkan kecuali ayahnya dan tidak dieperbolehkan seorang yang dilahirkan mengaqiqahkan dirinya sendiri walaupun dia sudah besar dikarenakan menurut syariat bahwa aqiqah ini adalah kewajiban ayah dan tidak bisa dilakukan oleh selainnya.
3. Sekelompok ulama Madzhab Hambali berpendapat bahwa seseorang diperbolehkan mengaqiqahkan dirinya sendiri sebagai suatu yang disunnahkan. Aqiqah tidak mesti dilakukan saat masih kecil dan seorang ayah boleh mengaqiqahkan anak yang terlahir walaupun anak itu sudah baligh karena tidak ada batas waktu maksimalnya.(al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2748)
Aqiqah atau Kurban
Dari keterangan diatas bisa disimpulkan bahwa aqiqah tidak mesti dilakukan pada hari ketujuh dan itu semua diserahkan kepada kemampuan dan kelapangan rezeki orang tuanya, bahkan ia bisa dilakukan pada saat anak itu sudah besar / baligh.
Orang yang paling bertanggung jawab melakukan aqiqah adalah ayah dari bayi terlahir pada waktu kapan pun ia memiliki kesanggupan. Namun jika dikarenakan si ayah memiliki halangan untuk mengadakannya maka si anak bisa menggantikan posisinya yaitu mengaqiqahkan dirinya sendiri, meskipun perkara ini tidak menjadi kesepakatan dari para ulama.
Dari dua hal tersebut diatas maka ketika seseorang dihadapkan oleh dua pilihan dengan keterbatasan dana yang dimilikinya antara kurban atau aqiqah maka kurban lebih diutamakan baginya, dikarenakan hal berikut :
1. Perintah berkurban ini ditujukan kepada setiap orang yang mukallaf dan memiliki kesanggupan berbeda dengan perintah aqiqah yang pada asalnya ia ditujukan kepada ayah dari bayi yang terlahir.
2. Meskipun ada pendapat yang memperbolehkan seseorang mengaqiqahkan dirinya sendiri namun perkara ini bukanlah yang disepakati oleh para ulama.
Dalil mereka yang memperbolehkan seseorang mengaqiqahkan dirinya sendiri adalah apa yang diriwayatkan dari Anas dan dikeluarkan oleh al Baihaqi, “Bahwa Nabi saw mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah beliau diutus menjadi Rasul.” Kalau saja hadits ini shohih, akan tetapi dia mengatakan,”Sesungguhnya hadits ini munkar dan didalamnya ada Abdullah bin Muharror dan ia termasuk orang lemah sekali sebagaimana disebutkan oleh al Hafizh. Kemudian Abdur Rozaq berkata,”Sesungguhnya mereka telah membicarakan dalam masalah ini dikarenakan hadits ini.” (Nailul Author juz VIII hal 161 – 162, Maktabah Syamilah)
Wallahu A’lam
– Ustadz Sigit Pranowo, Lc-
Artikel ketiga
Judul Hukum Berkurban bagi yg Belum Akikah diambil dari
syariahonline.com
Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh..Begini pak Ustadz,saya ingin menanyakan tentang Aqiqah.Sya seorang anak laki-laki umur 26th saya mengetahui belum pernah aqiqah ketika saya mencari tau tentang tata cara berkurban,meski sunah & sayapun saat ini belum miliki uang yang cukup tapi saya sangat berniat untuk melakukan pnyembelihan hewan kurban untuk saya,ibu saya & alm bapak saya,yaa meskipun tidak dalam satu idul adha tapi saya ingin untuk suatu saat nanti.pertanyaaan saya.
1. apa benar jika seorang belum aqiqah tidak boleh berkurban?
2. ternyata ke 2 orang tua sayapun belum aqiqah, apa boleh jika saya menghadiahkan pahala hewan kurban untuk mereka sedangkan mereka belum pernah aqiqah? Jika tidak, apa boleh jika saya menghadiahkan (membiyayai/mengAqiqahkan) ibu & alm bapak saya terlebih dahulu?
meskipun jika tidak mampu tidak harus dipaksakan tapi saya ingin tau & saya ingin melakukan sunah Rosul.
sebelumnya saya ucapkan terima kasih,Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh
Assalamu alaikum wr.wb.
Tidak ada dalil yang melarang seseorang berkurban jika belum melakukan akikah. Dengan kata lain, kurban boleh dilakukan oleh seseorang meski ia belum melakukan akikahi atau diakikahi.
Dalam hal ini hukum akikah itu sendiri adalah sunnah muakkadah. Jika mampu hendaknya dilakukan pada hari ketujuh kelahiran dan jika tidak mampu bisa ditunda kehari keempat belas, kedua puluh satu, atau kapan saja ia mampu. Bahkan meski sudah dewasa menurut sebagian ulama.
Namun demikian menurut Imam Ahmad kalau seseorang sudah berkurban, tidak perlu lagi melakukan akikah karena qurban tersebut telah mencukupi dan mewakili. Suatu ketika Imam Ahmad ditanya tentang kurban yang diperuntukkan untuk seorang anak, apakah hal itu sudah bisa menggantikan akikahnya? Beliau menjawab, "Aku tidak tahu. Akan tetapi ada yang berpendapat demikian. (Yaitu dari kalangan tabiin)." Imam Ahmad sendiri menegaskan, "Aku berharap semoga kurban yang dilakukan bisa menggantikan akikah orang yang belum diakikahi insya Allah." Demikianlah yang disebutkan dalam kitab Tuhfatul al-Maudud li Ahkamil Mawlud.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Artikel Keempat
Saya ambil dari sumbernya
islampos.com
Assalamu’alaikum wr.wb.
USTADZ, mau tanya boleh tidak jika kita belum aqiqah tapi kita berqurban, bagaimana hukumnya ustadz? Terimakasih
Wassalam
RIBUTWAHONO WAHYU ANDRIANTO
Wa’alikumsalam wr.wb.
Untuk menjawab pertanyaan saudara, ada beberapa hal yang perlu dipahami.
Pertama, hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkadah dan terkait dengan kelahiran anak, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah swt, Adapun qurban adalah ibadah terkait dengan hari idul adha sebagai amalan sunnah mu’akkadah, untuk meneladani sunnah Nabi Ibrahim as.
Kedua, memang kedua ibadah tersebut jika dilihat dari bentuk dan tata cara aplikasinya hampir sama, yaitu dengan menyembelih hewan. Jika aqiqah hanya kambing (dan dianjurkan anak laki-laki dua ekor dan anak perempuan satu ekor), sementara qurban, di samping kambing, juga dibolehkan sapi, kerbau atau unta. Selain kekuatan hukum yang sama, ketentuan lain yang sama adalah terkait dengan syarat-syarat hewan yang akan disembelih. Pembagian hewan yang berbeda, jika aqiqah disunnahkan dalam kondisi telah dimasak, sementara qurban disunnahkan masih mentah (belum dimasak).
Laporkan iklan?
Ketiga, kedua ibadah ini menjadi berbeda, dan tidak dapat salah satu dan yang lain saling menggantikan, menurut jumhur ulama karena sebab, waktu, dan tuntutan penunaiannya adalah berbeda. Pelaksanaan aqiqah disarankan oleh Rasul saw pada tanggal 7, 14, 21, dan seterusnya, atau sesuai dengan waktu yang mudah bagi seseorang dan sesuai dengan kemampuan. Aqiqah waktunya lebih luas (muwassa’). Sementara ibadah qurban waktunya telah ditentukan syari’at dan terbatas (mudhayaq), yaitu harus dilaksanakan pada tanggal 10-14 Dzulhijjah.
Keempat, karena itu, melihat keutamaan ibadah qurban, dan karena waktu yang terbatas diperbolehkan mendahulukan ibadah qurban –meski belum aqiqah—karena aqiqah dapat dilaksanakan di sepanjang tahun, bahkan pada tahun-tahun berikutnya. Bahkan karena saking utamanya qurban, imam Abu hatim dan Imam Ahmad membolehkan berhutang terlebih dahulu demi untuk dapat berqurban. Terlebih jika kondisi belum aqiqah adalah telah berusia dewasa, karena hal ini masih diperselisihkan ulama. Mengingat aqiqah adalah penyembelihan hewan ketika masih usia anak-anak, dan jika telah dewasa ada beberapa ulama yang menyatakan gugur sunnah aqiqah, dan ada pula yang menyatakan jika mampu tetap disunnahkan melaksanakan aqiqah. Intinya, tidak ada ketentuan dalam syari’at bahwa pelaksanaan ibadah qurban harus bagi orang yang telah melaksanakan aqiqah.
Kelima, dan jika penyembelihan qurban dengan diniatkan dua ibadah, yaitu aqiqah dan qurban, maka tidak diperkenankan. Karena masing-masing ibadah ini berdiri sendiri (maqshudah lidzatiha). Demikian pendapat para ulama, di antaranya mazhab Syafi’I, mazhab Maliki, imam al-Haitami, juga pendapat Syaikh Al Bani.
Wallauh’alam. []
Mudah-mudahan dari beberapa artikel tersebut, memantapkan jawaban anda tentang pertanyaan Belum Aqiqah Bolehkah Berkurban,